Perjalanan Bersama National Geographic di Sangatta -1


Perjalanan dimulai pada tanggal 06-06-2012 dari pukul 5 pagi, kegiatan hari ini bertujuan untuk menemukan artikel pendukung dalam melengkapi artikel utama yang dikerjakan. Tujuan pertama, kami diajak oleh KPC menuju pantai teluk lombok.
Setelah perjalanan sekitar 30 menit dari kota, pantai dengan pasir putih yang bersih menyambut kami di tengah rintik-rintik hujan yang coba menyejukkan perjalanan pagi kami.

Suara alunan ombak pantai yang sedang pasang memberikan gambaran ketenangan khas kawasan pantai yang nyaman. Karena kami datang pada saat di pagi hari maka kegiatan dari warga sekitar ataupun kegiatan wisata masih belum banyak dijumpai. Hanya sesekali terlihat nelayan yang membawa kapalnya menuju ke tengah laut.

Sembari menikmati keindahan pagi, kamipun mendengarkan cerita dai Pak Nugroho sebagai warga asli Sangatta tentang kawasan teluk lombok ini. Beliau bercerita bahwa awal terbentuknya Sangatta yaitu berasal dari sini, daerah yang bernama Sangkima. Awalnya wilayah ini didiami oleh kelompok dayak benuaq yang hidup berladang, kemudian datang pendatang bugis wajo melalui selat makassar menuju tempat ini. Dengan kedatangan warga bugis ini maka kelompok dayak benuaq akhirnya berpindah. Generasi berikutnya warga kutai mulai berdatangan dan hidup di sini. Pada perkembangan selanjutnya, wilayah sangkimah semakin berkembang dengan adanya pertambangan minyak. Sehingga mulai bertumbuhlah penduduk dengan adanya para pendatang pekerja minyak hingga ke wilayah Sangatta selatan. Seiring dengan perkembangan pertambangan batu bara oleh KPC, maka semakin besar dan komplekslah penduduk dan wilayah Sangatta ini.

Asyik bercerita, tak disangka waktu sudah menunjukkan pukul 08.00 pagi. Kamipun melanjutkan perjalanan sekitar 20 menit untuk menuju dusun Sangkima Airport untuk melihat pembudidayaan mangrove dan teluk prancis (warga sekitar menyebutnya dengan tanjung prancis). Di dusun ini kita dapat menemukan banyak jenis mangrove mulai dari bakau, nipah, dan bunga api. Warga sekitar sangat peduli dengan lingkungan sehingga membudidayakan bakau untuk ditanam di wilayah tersebut, selain juga dijual bila ada yang memerlukan. Kebanyakan tanaman bakau berkembang biak dengan buahnya dan ada juga yang berkembang dengar akar napas.

Kamipun diajak menuju tanjung prancis untuk melihat jenis bakau dan buahnya yang mulai tumbuh menjadi tunas bakau baru. Perjalanan menuju tanjung prancis hanya bisa dilakukan saat air pasang dengan menggunakan ketinting. Beruntung air sedang bagus dan kami dengan lancar sampai menuju tanjung prancis. Lagi-lagi pemandangan budidaya rumput laut, pantai indah dengan pasir putihnya, dan hijaunya rimbunan bakau menyapa kami. Tak lupa pohon-pohon pinus menambah asrinya wilayah ini. Melihat potensi yang ada, di masa depan wilayah ini bisa menjadi tujuan wisata yang bagus.

Setelah puas berada di dusun Sangkima Airport, perjalananpun dilanjutkan menuju dusun Sangkima Lama. Di sinilah wilayah yang di sebut kampung lama, yaitu salah satu kampung awal yang berdiri di Sangatta. Menempuh sekitar 30 menit dari dusun Sangkima Airport maka kamipun sampai di dusun Sangkima Lama. Di dalam perjalanan kami melewati kampung dan perumahan Pertamina. Pada awalnya saya menyangka wilayah ini tidak begitu ramai, tetapi sesampainya di Sangkima Lama saya cukup terkejut karena melihat banyaknya sawah dan kebun warga, adanya saluran "dam" irigasi, sekolah, kantor desa serta kampung-kampung penduduk. Perjalanan kami ke kampung lama ini bertujuan untuk melihat buaya. Namun sayang, air sungai sedang pasang naik, sehingga kamipun gagal untuk menemukan buaya. Untuk itu kami hanya mendengar cerita dari penduduk sekitar tentang buaya Sangkima. Pak Hanan namanya, beliau adalah seorang pemburu buaya. Buaya yang terdapat di Sungai Sangkima ini ada sekitar 20an lebih, dengan ukuran mulai dari yang kecil hingga menurut kesaksian beliau ada yang sampai sekitar 20 meter. Dengan bertambahnya penduduk di sekitar sungai maka buayapun terdesak dan mulai meninggalkan sungai ke arah yang lebih dalam lagi, yaitu ke muara. Beliau bercerita pada dasarnya beliau hanya memburu buaya yang "nakal". Apabila buaya sudah mulai memangsa binatang ternak, atau mengganggu manusia maka pak hanan akan memburu buaya ini dan kemudian dibunuh agar tidak terjadi kenakalannya lagi.

Kami diperlihatkan dengan salah satu tengkorak buaya nakal yang pernah memangsa manusia di wilayah ini. Buaya itu dikubur sekitar setahun lalu, sehingga saat kami diperlihatkan maka tulang tengkoraknya sudah terlihat jelas. Pak nugroho beruntung, ia diperbolehkan mengambil tengkorak buaya ini untuk dibawa pulang.

Setelah puas melihat tengkorak buaya, rombongan kamipun pamit untuk kembali ke kota. Sekitar perjalanan 1 jam sampailah kami di kota dan beristirahat sejenak untuk makan siang dan menunggu rombongan lain yang akan pergi bersama menyusuri sungai menuju muara Sangatta. Setelah cukup istirahat kami bergerak ke kampung tengah untuk menuju dermaga kapal yang akan membawa kami menyusuri sungai Sangatta. 15 menit waktu berselang kamipun sampai. Sekitar 30 menit waktu persiapan, kami berangkat dengan kapal klotok yang berukuran agak besar menuju muara. Kapal ini dapat bermuatan sekitar 15 orang.


Perjalanan menyusuri muara ini bertujuan untuk melihat habitat buaya dan kehidupan binatang lain di sisi sungai. Sayangnya dengan kondisi air pasang, maka sangat sulit menemukan buaya di sekitar sungai. Menariknya, kami disuguhkan pemandangan sisi sungai yang hijau dan diselingi rumah-rumah penduduk. Terdapat banyak kehidupan flora dan fauna yang menarik di sini. Ada kumpulan pohon enau di sisi sungai. Pohon enau ini daunnya berbentuk seperti daun kelapa. Menurut cerita pak Nugroho, bahwa pada zaman dahulu daun-daun itu digunakan sebagai atap rumah penduduk. Walaupun sudah jarang digunakan, tetapi masih ada beberapa rumah yang memakai atap dari daun itu. Selain untuk atap, orang-orang bugis menggunakan janur daun ini untuk membuat ketupat sebagai pelengkap makanan mereka.

Jenis-jenis binatang yang kami temui di sepanjang perjalanan ini adalah monyet, bekantan, burung elang, burung elang laut putih, burung raja udang, burung bubut, dan berbagai jenis burung-burung kecil lainnya. Sekitar 4 jam kami disuguhkan pemandangan asri dan menarik dengan berbagai flora dan faunanya. Perjalanan pulang kamipun ditutup oleh matahari terbenam yang indah di langit barat kota Sangatta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar